Burung Maleo yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo
adalah sejenis burung yang berukuran sedang, dengan panjang sekitar
55cm. Burung Maleo adalah satwa endemik Sulawesi, artinya hanya bisa
ditemukan hidup dan berkembang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Selain
langka, burung ini ternyata unik karena anti poligami.
Selain sebagai satwa endemik Burung Maleo (Macrocephalon maleo) ini yang mulai langka dan dilindungi
ini juga merupakan burung yang unik. Keunikannya mulai dari struktur
tubuh, habitat, hingga tingkah lakunya yang salah satunya adalah anti
poligami. Makanya tidak mengherankan jika sejak tahun 1990 berdasarkan
SK. No. Kep. 188.44/1067/RO/BKLH tanggal 24 Pebruari 1990, Burung Maleo
ditetapkan sebagai “Satwa Maskot” provinsi Sulawesi Tengah.
Burung Maleo (Macrocephalon maleo)
memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris
mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah
berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau
jambul keras berwarna hitam. Jantan dan betina serupa. Biasanya betina
berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan.
Populasi terbanyaknya kini tinggal di
Sulawesi Tengah. Salah satunya adalah di cagar alam Saluki, Donggala,
Sulawesi Tengah. Di wilayah Taman Nasional Lore Lindu ini, populasinya
ditaksir tinggal 320 ekor. Karena populasinya yang kian sedikit, burung
unik dan langka ini dilindungi dari kepunahan. Maleo dikategorikan
sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan
dalam CITES Appendix I.
Populasi Maleo terancam oleh para pencuri
telur dan pembuka lahan yang mengancam habitatnya. Belum lagi musuh
alami yang memangsa telur Maleo, yakni babi hutan dan biawak. Habitatnya
yang khas juga mempercepat kepunahan. Maleo hanya bisa hidup di dekat
pantai berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber mata air
panas atau kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber
panas bumi itu, Maleo mengubur telurnya dalam pasir.
Keunikan Burung Maleo
Beberapa keunikan dari Burung Maleo (Macrocephalon maleo) antara lain:
- Tonjolan di kepala; Maleo memiliki tonjolan (tanduk atau jambul keras berwarna hitam) dikepala. Pada saat masih anak dan remaja, tonjolan di kepala ini belum muncul, namun pada saat menginjak dewasa tonjolan inipun mulai tampak. Diduga tonjolan ini dipakai untuk mendeteksi panas bumi yang sesuai untuk menetaskan telurnya (Meskipun hal ini masih memerlukan pembuktian secara ilmiah).
- Tidak suka terbang. Meskipun memiliki sayap dengan bulu yang cukup panjang, namun lebih senang jalan kaki dari pada terbang.
- Habitat dekat sumber panas bumi. Maleo hanya bisa hidup di dekat pantai berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber panas bumi itu, Maleo mengubur telurnya dalam pasir.
- Telur yang besar. Maleo memiliki ukuran telur yang besar, mencapai 5 kali lebih besar dari telur ayam. Beratnya antara 240 hingga 270 gram. per butirnya.
- Maleo tidak mengerami telurnya. Telur burung endemik ini dikubur sedalam sekitar 50 cm dalam pasir di dekat sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu. Telur yang ditimbun itu kemudian ditinggalkan begitu saja dan tak pernah diurus lagi. Suhu atau temperatur tanah yang diperlukan untuk menetaskan telur maleo berkisar antara 32-35 derajat celsius. Lama pengeraman pun membutuhkan waktu sekitar 62-85 hari.
- Perjuangan anak Maleo. Anak maleo yang telah berhasil menetas harus berjuang sendiri keluar dari dalam tanah sedalam kurang lebih 50cm (bahkan ada yang mencapai 1 m) tanpa bantuan sang induk. Perjuangan untuk mencapai permukaan tanah akan membutuhkan waktu selama kurang lebih 48 jam. Inipun akan tergantung pada jenis tanahnya. Sehingga tak jarang beberapa anak maleo dijumpai mati “ditengah jalan”.
- Anak yang mandiri. Anak yang baru saja mencapai permukaan tanah sudah memiliki kemampuan untuk terbang dan mencari makan sendiri (tanpa asuhan sang induk).
- Monogami. Maleo adalah monogami spesies (anti poligami) yang dipercaya setia pada pasangannya. Sepanjang hidupnya, ia hanya mempunyai satu pasangan. Burung ini tidak akan bertelur lagi setelah pasangannya mati.
Status Konservasi Maleo
Sayangnya semakin hari, satwa endemik
yang unik ini semakin langka. Oleh IUCN, burung Maleo masuk dalam
kategori “terancam punah”. CITES juga memasukkan binatang khas Sulawesi
Tengah ini dalam kategori Appendix I.
Kelangkaan fauna unik ini
antara lain disebabkan oleh terdesaknya habitat terutama yang berada di
luar kawasan konservasi, perburuan telur Maleo oleh manusia serta
ancaman predator antara lain : Biawak (Varanus sp), Babi Hutan (Sus sp), dan Elang.
Untungnya Dinas Kehutanan Melalui Balai
Taman Nasional Lore Lindu berhasil membuat penangkarannya, bekerja sama
dengan masyarakat setempat. Paling tidak usaha ini mampu sedikit
meminimalisir bahaya kepunahan yang mengancam burung anti poligami ini.
Klasifikasi ilmiah; Kerajaan: Vertebrata; Filum: Chordata; Kelas: Aves (Burung); Ordo: Galliformes; Famili: Megapodiidae; Genus: Macrocephalon; Spesies: Macrocephalon maleo; Nama binomial; Macrocephalon maleo (S. Müller, 1846)
Burung Maleo yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo
adalah sejenis burung yang berukuran sedang, dengan panjang sekitar
55cm. Burung Maleo adalah satwa endemik Sulawesi, artinya hanya bisa
ditemukan hidup dan berkembang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Selain
langka, burung ini ternyata unik karena anti poligami.
Selain sebagai satwa endemik Burung Maleo (Macrocephalon maleo) ini yang mulai langka dan dilindungi
ini juga merupakan burung yang unik. Keunikannya mulai dari struktur
tubuh, habitat, hingga tingkah lakunya yang salah satunya adalah anti
poligami. Makanya tidak mengherankan jika sejak tahun 1990 berdasarkan
SK. No. Kep. 188.44/1067/RO/BKLH tanggal 24 Pebruari 1990, Burung Maleo
ditetapkan sebagai “Satwa Maskot” provinsi Sulawesi Tengah.
Burung Maleo (Macrocephalon maleo)
memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris
mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah
berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau
jambul keras berwarna hitam. Jantan dan betina serupa. Biasanya betina
berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan.
Populasi terbanyaknya kini tinggal di
Sulawesi Tengah. Salah satunya adalah di cagar alam Saluki, Donggala,
Sulawesi Tengah. Di wilayah Taman Nasional Lore Lindu ini, populasinya
ditaksir tinggal 320 ekor. Karena populasinya yang kian sedikit, burung
unik dan langka ini dilindungi dari kepunahan. Maleo dikategorikan
sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan
dalam CITES Appendix I.
Populasi Maleo terancam oleh para pencuri
telur dan pembuka lahan yang mengancam habitatnya. Belum lagi musuh
alami yang memangsa telur Maleo, yakni babi hutan dan biawak. Habitatnya
yang khas juga mempercepat kepunahan. Maleo hanya bisa hidup di dekat
pantai berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber mata air
panas atau kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber
panas bumi itu, Maleo mengubur telurnya dalam pasir.
Keunikan Burung Maleo
Beberapa keunikan dari Burung Maleo (Macrocephalon maleo) antara lain:
- Tonjolan di kepala; Maleo memiliki tonjolan (tanduk atau jambul keras berwarna hitam) dikepala. Pada saat masih anak dan remaja, tonjolan di kepala ini belum muncul, namun pada saat menginjak dewasa tonjolan inipun mulai tampak. Diduga tonjolan ini dipakai untuk mendeteksi panas bumi yang sesuai untuk menetaskan telurnya (Meskipun hal ini masih memerlukan pembuktian secara ilmiah).
- Tidak suka terbang. Meskipun memiliki sayap dengan bulu yang cukup panjang, namun lebih senang jalan kaki dari pada terbang.
- Habitat dekat sumber panas bumi. Maleo hanya bisa hidup di dekat pantai berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber panas bumi itu, Maleo mengubur telurnya dalam pasir.
- Telur yang besar. Maleo memiliki ukuran telur yang besar, mencapai 5 kali lebih besar dari telur ayam. Beratnya antara 240 hingga 270 gram. per butirnya.
- Maleo tidak mengerami telurnya. Telur burung endemik ini dikubur sedalam sekitar 50 cm dalam pasir di dekat sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu. Telur yang ditimbun itu kemudian ditinggalkan begitu saja dan tak pernah diurus lagi. Suhu atau temperatur tanah yang diperlukan untuk menetaskan telur maleo berkisar antara 32-35 derajat celsius. Lama pengeraman pun membutuhkan waktu sekitar 62-85 hari.
- Perjuangan anak Maleo. Anak maleo yang telah berhasil menetas harus berjuang sendiri keluar dari dalam tanah sedalam kurang lebih 50cm (bahkan ada yang mencapai 1 m) tanpa bantuan sang induk. Perjuangan untuk mencapai permukaan tanah akan membutuhkan waktu selama kurang lebih 48 jam. Inipun akan tergantung pada jenis tanahnya. Sehingga tak jarang beberapa anak maleo dijumpai mati “ditengah jalan”.
- Anak yang mandiri. Anak yang baru saja mencapai permukaan tanah sudah memiliki kemampuan untuk terbang dan mencari makan sendiri (tanpa asuhan sang induk).
- Monogami. Maleo adalah monogami spesies (anti poligami) yang dipercaya setia pada pasangannya. Sepanjang hidupnya, ia hanya mempunyai satu pasangan. Burung ini tidak akan bertelur lagi setelah pasangannya mati.
Status Konservasi Maleo
Sayangnya semakin hari, satwa endemik
yang unik ini semakin langka. Oleh IUCN, burung Maleo masuk dalam
kategori “terancam punah”. CITES juga memasukkan binatang khas Sulawesi
Tengah ini dalam kategori Appendix I.
Kelangkaan fauna unik ini
antara lain disebabkan oleh terdesaknya habitat terutama yang berada di
luar kawasan konservasi, perburuan telur Maleo oleh manusia serta
ancaman predator antara lain : Biawak (Varanus sp), Babi Hutan (Sus sp), dan Elang.
Untungnya Dinas Kehutanan Melalui Balai
Taman Nasional Lore Lindu berhasil membuat penangkarannya, bekerja sama
dengan masyarakat setempat. Paling tidak usaha ini mampu sedikit
meminimalisir bahaya kepunahan yang mengancam burung anti poligami ini.
Klasifikasi ilmiah; Kerajaan: Vertebrata; Filum: Chordata; Kelas: Aves (Burung); Ordo: Galliformes; Famili: Megapodiidae; Genus: Macrocephalon; Spesies: Macrocephalon maleo; Nama binomial; Macrocephalon maleo (S. Müller, 1846)
Burung Maleo yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo
adalah sejenis burung yang berukuran sedang, dengan panjang sekitar
55cm. Burung Maleo adalah satwa endemik Sulawesi, artinya hanya bisa
ditemukan hidup dan berkembang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Selain
langka, burung ini ternyata unik karena anti poligami.
Selain sebagai satwa endemik Burung Maleo (Macrocephalon maleo) ini yang mulai langka dan dilindungi
ini juga merupakan burung yang unik. Keunikannya mulai dari struktur
tubuh, habitat, hingga tingkah lakunya yang salah satunya adalah anti
poligami. Makanya tidak mengherankan jika sejak tahun 1990 berdasarkan
SK. No. Kep. 188.44/1067/RO/BKLH tanggal 24 Pebruari 1990, Burung Maleo
ditetapkan sebagai “Satwa Maskot” provinsi Sulawesi Tengah.
Burung Maleo (Macrocephalon maleo)
memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris
mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah
berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau
jambul keras berwarna hitam. Jantan dan betina serupa. Biasanya betina
berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan.
Populasi terbanyaknya kini tinggal di
Sulawesi Tengah. Salah satunya adalah di cagar alam Saluki, Donggala,
Sulawesi Tengah. Di wilayah Taman Nasional Lore Lindu ini, populasinya
ditaksir tinggal 320 ekor. Karena populasinya yang kian sedikit, burung
unik dan langka ini dilindungi dari kepunahan. Maleo dikategorikan
sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan
dalam CITES Appendix I.
Populasi Maleo terancam oleh para pencuri
telur dan pembuka lahan yang mengancam habitatnya. Belum lagi musuh
alami yang memangsa telur Maleo, yakni babi hutan dan biawak. Habitatnya
yang khas juga mempercepat kepunahan. Maleo hanya bisa hidup di dekat
pantai berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber mata air
panas atau kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber
panas bumi itu, Maleo mengubur telurnya dalam pasir.
Keunikan Burung Maleo
Beberapa keunikan dari Burung Maleo (Macrocephalon maleo) antara lain:
- Tonjolan di kepala; Maleo memiliki tonjolan (tanduk atau jambul keras berwarna hitam) dikepala. Pada saat masih anak dan remaja, tonjolan di kepala ini belum muncul, namun pada saat menginjak dewasa tonjolan inipun mulai tampak. Diduga tonjolan ini dipakai untuk mendeteksi panas bumi yang sesuai untuk menetaskan telurnya (Meskipun hal ini masih memerlukan pembuktian secara ilmiah).
- Tidak suka terbang. Meskipun memiliki sayap dengan bulu yang cukup panjang, namun lebih senang jalan kaki dari pada terbang.
- Habitat dekat sumber panas bumi. Maleo hanya bisa hidup di dekat pantai berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber panas bumi itu, Maleo mengubur telurnya dalam pasir.
- Telur yang besar. Maleo memiliki ukuran telur yang besar, mencapai 5 kali lebih besar dari telur ayam. Beratnya antara 240 hingga 270 gram. per butirnya.
- Maleo tidak mengerami telurnya. Telur burung endemik ini dikubur sedalam sekitar 50 cm dalam pasir di dekat sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu. Telur yang ditimbun itu kemudian ditinggalkan begitu saja dan tak pernah diurus lagi. Suhu atau temperatur tanah yang diperlukan untuk menetaskan telur maleo berkisar antara 32-35 derajat celsius. Lama pengeraman pun membutuhkan waktu sekitar 62-85 hari.
- Perjuangan anak Maleo. Anak maleo yang telah berhasil menetas harus berjuang sendiri keluar dari dalam tanah sedalam kurang lebih 50cm (bahkan ada yang mencapai 1 m) tanpa bantuan sang induk. Perjuangan untuk mencapai permukaan tanah akan membutuhkan waktu selama kurang lebih 48 jam. Inipun akan tergantung pada jenis tanahnya. Sehingga tak jarang beberapa anak maleo dijumpai mati “ditengah jalan”.
- Anak yang mandiri. Anak yang baru saja mencapai permukaan tanah sudah memiliki kemampuan untuk terbang dan mencari makan sendiri (tanpa asuhan sang induk).
- Monogami. Maleo adalah monogami spesies (anti poligami) yang dipercaya setia pada pasangannya. Sepanjang hidupnya, ia hanya mempunyai satu pasangan. Burung ini tidak akan bertelur lagi setelah pasangannya mati.
Status Konservasi Maleo
Sayangnya semakin hari, satwa endemik
yang unik ini semakin langka. Oleh IUCN, burung Maleo masuk dalam
kategori “terancam punah”. CITES juga memasukkan binatang khas Sulawesi
Tengah ini dalam kategori Appendix I.
Kelangkaan fauna unik ini
antara lain disebabkan oleh terdesaknya habitat terutama yang berada di
luar kawasan konservasi, perburuan telur Maleo oleh manusia serta
ancaman predator antara lain : Biawak (Varanus sp), Babi Hutan (Sus sp), dan Elang.
Untungnya Dinas Kehutanan Melalui Balai
Taman Nasional Lore Lindu berhasil membuat penangkarannya, bekerja sama
dengan masyarakat setempat. Paling tidak usaha ini mampu sedikit
meminimalisir bahaya kepunahan yang mengancam burung anti poligami ini.
Klasifikasi ilmiah; Kerajaan: Vertebrata; Filum: Chordata; Kelas: Aves (Burung); Ordo: Galliformes; Famili: Megapodiidae; Genus: Macrocephalon; Spesies: Macrocephalon maleo; Nama binomial; Macrocephalon maleo (S. Müller, 1846)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar